Ditulis oleh: Anna Farida

Secara umum, literasi didefinisikan sebagai kemampuan baca tulis, kecakapan mengolah informasi dalam bidang tertentu dan memanfaatkannya dalam kehidupan. Dalam konteks sekolah pada era digital, secara khusus siswa dituntut mampu memilah, mengolah informasi pada teks, menyimpulkannya, mengevaluasinya secara kritis, kemudian menggunakannya untuk mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari (Dewayani, 2019: 1). UNESCO mendefinisikan literasi sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menginterpretasi, berkomunikasi, dan berpikir dengan menggunakan bahan-bahan cetak maupun tertulis dalam berbagai konteks. (Montoya: 2018).

Untuk keperluan pembelajaran di sekolah maupun kehidupan di masyarakat, kecakapan ini mesti dikuasai anak sejak dini. Dalam konteks tersebut, literasi dini merupakan proses pembelajaran untuk memahami dan menggunakan bahasa untuk keperluan berkomunikasi. Literasi dini juga dimaknai sebagai proses pembelajaran untuk memahami dan menggunakan bahasa dalam komunikasi fungsional. Komunikasi fungsional merupakan dasar bagi kecakapan baca tulis seorang anak (Robinson: 2014: 11). Anak mula-mula belajar menggunakan bahasa lisan—terdiri atas menyimak dan berbicara—kemudian mulai mengeksplorasi bahasa tulis, yaitu membaca dan menulis. Dalam konteks pembelajaran formal, tanpa intervensi literasi dini, anak-anak dengan kecakapan literasi rendah akan menghadapi kemungkinan putus sekolah di kemudian hari (Gettinger dan Stoiber, 2008: 18). Lebih dari satu dasawarsa kemudian, secara umum masih ditemukan bahwa anak-anak dengan kecakapan literasi rendah secara konsisten berada pada tingkat kemampuan akademik di bawah rata-rata teman sebaya mereka (Imray dan Sissons, 2021: 222).

Lebih dari itu, literasi dalam pengertian yang luas bukan hanya penting untuk memampukan anak berperan aktif dalam dunia akademis, tetapi juga berlatih berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosialnya. Hal ini didukung oleh literary processing theory yang dikemukakan oleh Marie M. Clay yang telah melakukan studi panjang terhadap anak-anak usia dini pada masa-masa awal pemerolehan kecakapan literasi (Ronning, 2020:17). Salah satu kunci aspek kunci dari literary processing theory adalah bahwa pembelajaran bersifat konstruktif. Pembelajaran literasi didasarkan pada pemahaman anak, kemampuan anak pada saat itu, dipadukan dengan eksplorasi dan latihan problem solving. Dengan demikian, di kelas atau di rumah, anak disarankan menciptakan pembelajarannya sendiri dengan panduan dan dukungan guru atau orang tua.

Berbagai pendekatan dikembangkan sebagai upaya memupuk dan meningkatkan kemampuan literasi anak usia dini, salah satunya adalah balanced literacy atau pendekatan literasi berimbang. Istilah berimbang mengacu pada pandangan bahwa siswa belajar menjadi pembaca yang memerlukan berbagai kesempatan dan cara yang berbeda. Keseimbangan diperoleh melalui gabungan berbagai strategi pembelajaran dengan tujuan menghasilkan pembelajar yang kompeten dan literat (Retnaningdyah, 2019: 1)

Pendekatan ini dipromosikan oleh Mary Clay, Irene Fountas, dan Gay Su Pinnel. Secara singkat, strategi literasi berimbang memberikan perhatian yang setara pada kegiatan membaca dan menulis. Guru dapat menggunakan berbagai jenis teks setelah kemampuan membaca siswa dikelompokkan sesuai jenjang.

Ciri-ciri pendekatan literasi berimbang adalah (a) Mengembangkan kompetensi semua siswa dengan memanfaatkan berbagai bahan ajar, sarana, dan strategi; (b) Menekankan perkembangan bahasa lisan, kemampuan berpikir, dan berkolaborasi sebagai dasar pembelajaran literasi; (c) Menggunakan asesmen formatif sebagai panduan pembelajaran dan untuk menentukan tingkat dukungan yang perlu diberikan kepada siswa; (d) Memberikan instruksi yang eksplisit untuk keterampilan memecahkan masalah dan berpikir strategis; (e) Memberikan waktu khusus tanpa interupsi untuk pembelajaran literasi; (f) Memenuhi kebutuhan pembelajaran dan literasi secara individu.

Pendekatan ini didasarkan pada pada tinjauan literasi secara luas, praktik terpandu, pembelajaran kolaboratif, dan aktivitas membaca dan menulis secara mandiri, bahwa kecakapan membaca dan menulis dikembangkan melalui petunjuk dan dukungan dalam berbagai jenis lingkungan, dengan cara yang bermacam-macam, sesuai tingkat kemampuan anak (Fountas dan Pinnel, 2010: 246). Kegiatan literasi berimbang meliputi pemodelan, membaca dan menulis bersama, membaca mandiri, dan membaca terpandu. Pernyataan ini sejalan dengan pernyataan Duffy, Ivey, dan Baumann (2002: 43) bahwa this balance includes daily reading and writing activities, independent reading with self-selection of texts, teacher read alouds, writing, oral and literacy responses.

Literasi berimbang dengan sendirinya menciptakan suasana belajar yang seimbang. Guru didorong untuk menjalankan dan mengelola berbagai macam aktivitas literasi yang sesuai dengan kebutuhan anak. Pada gilirannya, berbagai variasi tersebut memberikan peluang kepada anak untuk belajar melalui berbagai cara, sesuai dengan kemampuan dan keperluan mereka.

Bahasa lisan menjadi komponen utama dalam pendekatan ini karena bahasa lisan meletakkan pondasi bagi kecakapan membaca dan menulis siswa. Kemampuan bahasa lisan yang kuat akan menentukan keberhasilan siswa dalam berkomunikasi secara baik secara lisan maupun tertulis. Karenanya, pendekatan ini memberikan perhatian pada tiga aspek utama yaitu kegiatan yang berkaitan dengan kata, membaca, dan menulis. Word work atau aktivitas berbasis kata memperkenalkan anak dengan konsep tulisan yang dicetak pada berbagai media, kesadaran fonologis—kemampuan mengenali dan memahami bunyi yang digunakan dalam bahasa lisan berupa suku kata, kata, dan perpaduannya dalam ujaran lisan—fonem atau satuan bunyi yang menunjukkan makna, kosakata, mengeja, dan berbagai kegiatan lain yang bertujuan memahami kata. Kegiatan membaca dalam pendekatan ini berupa membaca lantang, membaca bersama/membaca interaktif, membaca terpandu, dan membaca mandiri. Kegiatan menulis berupa menulis dengan pemodelan, menulis bersama/menulis interaktif, menulis terpandu, dan menulis mandiri.

Pendekatan literasi berimbang bertujuan membantu siswa belajar membaca dan menulis secara efektif sekaligus mengembangkan tanggung jawab secara bertahap. Konsep literasi berimbang ini didasarkan pada premis bahwa tujuan jangka panjang belajar baca tulis terbangunnya kebiasaan baca tulis itu sendiri. (Fountas dan Pinnel 2012: 1). Pendekatan ini memadukan dua konsep pembelajaran literasi yang telah berkembang terlebih dulu, yaitu pendekatan phonics yaitu pembelajaran yang mengutamakan penguasaan siswa terhadap fonem, alfabet, dan keterkaitan antara huruf dan bunyi; serta pendekatan whole language yang memberikan perhatian lebih pada aspek makna bacaan secara kontekstual seperti membangun kosakata dan pemahaman siswa pada bacaan.

Selain itu, pendekatan literasi berimbang merupakan model pembelajaran literasi dini dengan siswa sebagai pusatnya (student centered), memberikan peluang kepada siswa untuk mendapatkan pengalaman baca tulis kontekstual dipadukan dengan instruksi yang didesain secara khusus untuk melatih kecakapan literasi siswa. Kegiatan yang dilakukan oleh guru yang menggunakan pendekatan literasi berimbang adalah memadukan kegiatan praktik terpandu, pembelajaran kolaboratif, dan akvititas baca tulis secara mandiri. Pembelajaran dilakukan secara bergantian antara mandiri, satu guru satu siswa, kegiatan dalam grup kecil dan dalam grup yang lebih besar.

Dengan pendekatan literasi berimbang, siswa dimungkinkan untuk mendapatkan instruksi yang berbeda-beda sesuai jenjang dan minatnya. Tanggung jawab secara bertahap juga bisa diberikan kepada siswa melalui kegiatan yang bervariasi yaitu kegiatan mandiri, berkelompok, dan terpandu. Pada tahap awal, guru bisa memberikan pemodelan, instruksi, dan bimbingan. Kemudian, secara bertahap, siswa bisa bertanggung jawab atas kegiatan belajarnya sendiri.

Bahan Bacaan

 

Clark, Z.K. (2012). Through the Teacher’s Eyes, Literacy Development in Early Childhood Years: a Qualitative Research Project from an EthnographicPerspective. Sheffield: The University of Sheffield.

Dewayani, S. (2019). Model Pembelajaran Literasi untuk Jenjang Prabaca dan Pembaca Dini Panduan bagi Orang Tua dan Guru. Jakarta: Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Fountas, Irene C. & Gay Su Pinnell. (2010). The Continuum of Literacy Learning. Grades PreK to 8. Heinemann.

Gettinger, M. dan Stoiber, K. (2008). Applying a Response to Intervention Model of Early Literacy Development in Low Income Children. Florida: Hammil Institute on Dissabilities and Sage Publications.

Huertas, L.F. (2017). Balanced Literacy Approach in Second Graders’ English Literacy Skills. Bogota: Universidad Pedagogica Nacional.

Imray, P. dan Sissons, M. (2021). A Different View of Literacy. Staffordshire: Nasen House.

Montoya, S. (2018). Defining Literacy. Unesco Institute for Statistics.

Retnaningdyah, P. (2019). Seri Manual GLS Literasi Berimbang. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Robinson, F.A. (2014). Literacy Connections: Early Literacy Interventions for Young Children from At-Risk Populations. Arizona: The University of Arizona.

Ronning, K. (2020).  Integrating Marie Clay’s Theory of Literacy Processing and Reading Recovery into Small Group Reading Instruction. Minnesota: Hamline University.

Comments