Ditulis oleh: Sofie Dewayani

Tak ada yang memungkiri bahwa teknologi digital telah merambah dunia perbukuan. Namun intervensi digital dalam dunia buku anak cenderung ditanggapi dengan beragam reaksi. Ketika program penumbuhan minat baca mengkampanyekan buku sebagai media untuk mendekatkan interaksi pembaca belia dengan guru, pengasuh, dan anggota keluarga terdekatnya, media digital cenderung dianggap membuat anak asosial. Pada saat anak memainkan fitur interaktif dalam gawai, fitur yang memiliki tampilan visual dan audio yang memikat itu begitu menyita perhatian anak sehingga anak cenderung abai pada lingkungan sosialnya. Sekalipun interaktif, media digital tentu tak mampu menghadirkan aroma kertas pada buku cetak, sensasi membalik halaman buku dan melihat berapa halaman lagi tersisa untuk dibaca, juga tekstur kertas saat diraba. Semua romantisme ini menandai interaksi buku cetak dengan pembacanya dari generasi terdahulu — mereka yang saat ini disebut ‘digital migrant.’


Penelitian yang dilakukan oleh University of Michigan [1] menegaskan bahwa peran buku cetak dalam kehidupan anak usia dini tak tergantikan. Dalam riset yang melibatkan 37 pasangan anak usia dini dan orang tua ini, ternyata pembaca cenderung lebih interaktif ketika membacakan atau dibacakan buku cetak ketimbang buku digital. Para responden berkomentar, mengamati halaman buku lebih lama, bertanya dan saling menanggapi pertanyaan sebelum membuka halaman buku. Interaksi orang tua dan anak bahkan berkembang ke percakapan seputar pengalaman sehari-hari. Interaksi ini tak terlalu banyak dilakukan saat responden membaca buku digital dengan judul yang sama.   


Perbedaan perilaku ini, menurut para peneliti tersebut, disebabkan oleh kebiasaan yang menyertai penggunaan gawai. Tablet atau ponsel cenderung digunakan secara soliter. Pengguna gawai menikmati interaksi dengan gawai sebagai kesenangan pribadi. Perilaku unik yang lain adalah ketika orang tua dan anak menggunakan gawai bersama-sama, anak cenderung lebih terdistraksi; mereka menyentuh layar, memencet tombol, dan melakukan hal lain yang tak dikehendaki orang tua saat mereka seharusnya fokus membaca. 


Interaksi akrab yang melingkupi kegiatan membaca merupakan fondasi yang menumbuhkan minat baca anak pada usia dini. Survei menyimpulkan bahwa minat membaca untuk kesenangan menurun ketika anak berusia delapan hingga sembilan tahun. [2] Menariknya, penurunan minat ini tak ditemukan pada sedikit anak yang memang telah memiliki kebiasaan membaca sejak usia dini. Ini menjelaskan mengapa banyak penelitian menganjurkan beragam kegiatan membaca yang menarik minat pembaca berusia dini. Menjadikan membaca kegiatan interaktif dan menyenangkan melalui dialog yang akrab adalah salah satunya. Tantangan pendidik dan orang tua saat ini adalah menciptakan kegiatan interaktif dan menyenangkan tersebut dengan media apapun yang dikenal anak, termasuk media digital. 


Solusi Pragmatis? 

Terdapat dua alasan mengapa buku anak digital (dalam format non-enhanced; yaitu tanpa animasi dan efek suara) menjadi penting saat ini.

Pertama, kebutuhan buku bacaan saat ini semakin tak terelakkan di abad ke-21 ini. Bacaan membimbing anak memasuki dunia bahasa tulis (written language). Dunia akademis, dunia kerja, dan lingkungan sosial anak menuntut mereka untuk mampu berkomunikasi secara tertulis. Dunia digital saat ini memang menjadi konteks baru bagi perkembangan bahasa tulis; namun anak tetap perlu memiliki landasan kecakapan berbahasa tulis agar mampu menggunakan bahasa tulis dalam berbagai konteks (formal dan informal). Di tengah serbuan video youtube dan media sosial, konten digital berbahasa tulis menjadi alternatif penting di era ini. 


Kedua, kebutuhan bahan bacaan makin meningkat dengan dicanangkannya program penumbuhan minat baca di seluruh pelosok Indonesia. Ketika sekolah wajib melaksanakan kegiatan membaca 15 menit sebelum pembelajaran, siswa pun membutuhkan bacaan yang tak hanya berkualitas baik, namun juga memuat cerita yang menghibur dengan tokoh-tokoh yang mencerminkan diri mereka. Tanpa bahan bacaan ramah anak yang berkualitas, program 15 menit hanya menjadi kewajiban tak bermakna dan tak menumbuhkan minat baca. Bahan bacaan digital saat ini merupakan alternatif untuk menjangkau daerah-daerah terjauh di Indonesia di saat biaya pengiriman masih menjadi kendala penyebaran buku-buku cetak. 


Karena daya jangkaunya yang melampaui buku-buku cetak dan kemampuannya meraih siswa dari beragam latar-belakang, pengembangan dan kegiatan pemanfaatan buku anak digital perlu dirancang dengan sungguh-sungguh. 


Pengembangan Konten Berkualitas

Yayasan Litara menetapkan standar kualitas yang sama bagi pengembangan cerita anak, baik dalam media cetak atau digital. Pengembangan konten untuk kedua media tersebut dilaksanakan melalui serangkaian kegiatan audisi penulis, seleksi ilustrator, pelatihan pengembangan materi, dan proses mentoring untuk mendampingi penulis dan ilustrator dalam mengedit, merevisi (bahkan menulis ulang), juga mengilustrasi karya. Kualitas konten digital penting karena bacaan berkualitas harus dapat menumbuhkan minat baca (melalui cerita yang benar-benar diminati oleh pembaca sasaran) dan dapat menumbuhkan dialog antar pembaca karena mengangkat permasalahan penting yang mereka hadapi. Untuk setiap judul buku digital, Litara memastikan bahwa naskah tersebut memiliki tokoh yang memikat dan sesuai dengan pembaca sasaran, cerita yang menghibur dan alur yang mudah mereka pahami, serta tidak menggurui. Cerita yang tidak menggurui akan mengembangkan dialog dan memancing pertanyaan seperti “Apa yang terjadi di sini?” “Mengapa tokoh melakukannya?” “Bagaimana kira-kira perasaan tokoh?” Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk membumikan cerita dalam pengalaman dan kehidupan pembaca belia.

Pelatihan Pengembangan Buku Bekerjasama Dengan The Asia Foundation dan ITB Mengangkat Tema “Merayakan Keragaman Melalui Kisah”

Melalui Kisah Fiksi, Anak Dapat Mendiskusikan Perbedaan Bentuk Rambut dan Keragaman Perayaan Ulang Tahun.

Pelatihan Pengembangan Buku Bekerjasama dengan The Asia Foudation dan Estee Lauder Mengangkat Tema “Anak Perempuan Hebat” yang Melibatkan Penulis, Ilustrator, Editor, dan Desainer Perempuan. 

Program Pemanfaatan Buku Digital

Penyebaran buku digital tidak akan bermakna apabila hanya disimpan dalam perpustakaan digital. Buku disimpan dalam format digital agar dapat dimanfaatkan dalam kegiatan membaca bersama dan didiskusikan. Karenanya, peningkatan kapasitas siswa, guru dan orang tua untuk memanfaatkan buku anak digital menjadi penting. Pertama, siswa perlu dapat menavigasi fitur dalam perpustakaan digital untuk dapat menemukan bacaan yang sesuai dengan kemampuannya. Kedua, orang tua siswa, guru dan pustakawan perlu memanfaatkan pustaka digital dalam kegiatan membaca bersama yang menyenangkan. Untuk meningkatkan kemampuan pemanfaatan pustaka digital, pendidik dan pengasuh perlu dapat menganalisis teks digital dan mengembangkan pertanyaan interaktif yang membuat kegiatan membaca menyenangkan. 

Buku anak dalam format cetak dan digital memiliki peran yang sama pentingnya dalam program penumbuhan minat baca. Tentu saja keduanya akan memberikan manfaat maksimal apabila memiliki kualitas yang baik dan digunakan dalam kegiatan pemanfaatan yang menyenangkan. 

[1] Munzer, T. G. et. al. (2019). Differences in parent-toddler interactions with electronic versus print books. Dalam Journal of Pediatrics, 143 (4). 

[2] Survei dilakukan oleh Scholastic di Amerika Serikat pada tahun 2018, melibatkan seribu anak dan orang tuanya.

Comments